Home »
Budaya
» Lesung, Seni Tradisional Masyarakat Agraris
Lesung, Seni Tradisional Masyarakat Agraris
“Tek,
tok, tek, dug, tek, tok, tek, dug, teng, tug , dug”, suara lesung (alat
penumbuk padi) yang ditumbuk oleh beberapa orang saling bergantian
dengan tetabuhan yang dikenal sebutan “Klotekan Lesung”. Kesenian
tradisional lesung sudah mulai jarang dimainkan lagi, Lesung merupakan
alat untuk menumbuk padi yang digunakan oleh petani-petani di pelosok
pedesaan. Gejog lesung hingga saat ini tak banyak diminati oleh kaum
muda. Bahkan, pementasan alat musik ini hanya terbatas pada acara-acara
besar saja.
Dahulu kala konon alat musik ini merupakan hiburan para petani ketika
selesai menumbuk padi di lesung, mereka kemudian bernyanyi dengan
iringan ketukan alu (penumbuk padi) ke lesung kosong. Mereka bernyanyi
sambil bercanda. Perkembangan zaman yang membuat petani tidak
menggunakan lesung untuk menumbuk padi menjadi beras itu, sebabnya
perlahan-lahan seni ini hampir tidak diminati lagi kaum muda kecuali
orang orang tua. Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, biasanya
dari kayu besar yang dibuang bagian dalamnya. Gabah yang akan diolah
ditaruh di dalam lubang tersebut. Padi atau gabah lalu ditumbuk dengan
alu, tongkat tebal dari kayu, berulang-ulang sampai beras terpisah dari
sekam. Para remaja tidak ada yang mau menekuni kesenian ini karena
dianggap tidak modern. Padahal, kesenian ini semestinya dijaga oleh
generasi muda. Karena melestarikan sebuah seni itu sama saja mengabdi
atau berusaha mengangkat budaya ataupun seni yang sebelumnya ada. Dengan
begitu apa yang menjadi milik kita tetap ada dan tidak diakui oleh
siapa pun”.
Diketahui, seni Lesung adalah satu seni tradisional kuno yang hidup dan
berkembang di pedesaan dan banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah
arus deras modernisasi ini mulai pudar dimakan zaman. Padahal budaya
kotekan lesung sudah ada sejak zaman nenek moyang kita yang berabad-abad
yang terjadi di berbagai daerah di Nusantara ini, hanya namanya saja
yang berbeda. Ada yang menamakan Kotekan lesung, Gejok lesung, lesung
jumengglung dan lainnya.
Musik ini identik dengan masyarakat petani atau pedesaan yang memang
mata pencahariannya adalah petani (masyarakat agraris). Masyarakat pada
saat itu memang masih sangat rukun dalam kehidupan bertetangga walau
satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, tidak seperti sekarang
yang penuh berdesakan. Saling bahu membahu, bergotong royong, dengan
rasa ikhlas tanpa imbalan, hanya sekedar makan itupun kalau ada, seperti
mendirikan rumah, ada hajatan, kerja bakti lingkungan semua itu tidak
ada rasa terpaksa tetapi dikerjakan dengan rasa ikhlas dan tanggung
jawab.
Kotekan lengsung awalnya muncul dari kerukunan yang dibina sejak
berabad-abad secara turun temurun dari daerah tersebut. Karena zaman
dulu belum ada mesin penggiling padi, maka jika ada orang yang punya
hajat tentunya orang kelas menengah ke atas, memerlukan beberapa orang
untuk mengubah gabah/padi menjadi beras. Nah dari situlah masyarakat
yang sudah sangat erat antar warga bermusyawarah. Akhirnya membuat alat
yang bentuknya seperti perahu yang terbuat dari kayu yang berukuran
sebesar pohon utuh. Kemudian dilubangi tengahnya persis seperti perahu
nelayan.
Lesung tersebut digunakan untuk menguliti gabah menjadi beras dengan
dibantu alat yang namanya alu atau antan. Yang disebut nutu atau ndeplok
(menumbuk padi dengan antan). Nah biasanya acara gotong royong seperti
ini sebelum dimulai dilakukan pemukulan lesung dengan alu bersama
beberapa orang sehingga menimbulkan irama yang sangat khas bunyinya
namun indah ditelinga, sambil menunggu teman yang alinnya. Setelah semua
datang maka diadakan kenduri adat mereka untuk memohon berkah kepada
Tuhan agar dalam punya hajat diberikan oleh Allah keselamatan yang
dipimpin oleh sesepuh dusun tersebut.
Selesai kenduri, mereka langsung menumbuk padi yang sudah dimasukkan
kedalam lesung terebut. Setelah ditumbuk menjadi beras maka ada petugas
yang mengumpulkan beras tersebut, kemudian ditampi oleh petugas penampi
beras dengan menggunakan tempeh atau tampah atau nyiru. Kemudian lesung
diisi lagi dengan gabah lagi, begitu seterusnya.
Rata-rata orang terlibat dalam acara ini adalah para ibu-ibu yang sudah
berumur, mereka sangat bersemangat dan gembira. Di saat tertentu ada
waktu dipakai untuk memainkan musik dari kotekan lesung tersebut yang
iramanya diatur oleh ketua ketekan tersebut. Jangan dikira walaupun
musik tradisional yang sudah usang pun punya konduktur/derigen.
Pimpinan itu mengantur anak buahnya agar menghasilkan nada yang berbeda
dari berbagai sudut lesung yang dipukul dengan alu tersebut. Sehingga
kalau dipadu satu dengan yang lain enak juga didengarkan. Apalagi kalau
mereka yang senang berjoget, barang kali cocok dengan irama itu.
Menari salah satu adegan yang menarik, banyak orang untuk menyaksikannya
seni kotekan lesung ini adalah para pemukulnya yang juga melakukan
gerak tari. Karena memang bukanlah penari profesional, adegan tari yang
mereka sajikan justru terlihat lucu dan sering mengundang gelak tawa
para penontonnya. Belum lagi tata rias wajahnya yang ala kadarnya, juga
memunculkan kesan lucu. Pertunjukan ini bila dikelola dengan baik dan
digabungkan dengan unsur entertainnya dapat menjadi salah satu
pertunjukan wisata yang cukup potensial.
Kelucuan yang menghibur juga terlihat dari gerak tangan dan badan mereka
yang tidak ‘neko-neko’ mengikuti alunan kotekan lesu yang ditabuh
bertalu-talu. Mungkin karena mereka bukan penari profesional, maka
gerakan tari mereka itu justru mengundang tawa penonton yang tengah
menyaksikan pertunjukan seni lesung. Kreativitas tersebut terus
berkembang bukan sekadar untuk mengusir kejenuhan dan keletihan, tapi
terus berkembang menjadi simbol kegiatan sosial masyarakat agraris.
Sehingga alunan senandung kotekan lesung pada saat dulu juga bisa
disebut sebagai irama musik prewedding di setiap keluarga petani di
pedesaan. Karena alunan kotekan lesung biasanya akan terus berkumandang
beberapa hari menjelang pesta hajatan pernikahan di sebuah keluarga di
pedesaan. Di tengah masyarakat yang masih kental kerukunan sosialnya,
setiap anggota masyarakat akan saling membantu menumbuk padi atau
membuat aneka tepung secara sukarela. Nah di saat-saat jeda menumbuk
padi atau membuat tepung tersebut, kotekan lesung secara spontan akan
terdengar mengalun.
Meski demikian, kekinian dengan adanya teknologi pertanian memungkinkan
hilangnya tradisi menumbuk padi yang menggunakan alu dan lesung dari
kehidupan masyarakat pedesaan. Sejarah dan mitologi mencatat bagaimana
alu dan lesung menyelamatkan Roro Joggrang dari hasrat Bandung Bondowoso
yang akan meminangnya sebagai istri. Ketika Rara Jonggrang mendengar
kabar bahwa seribu candi sudah hampir rampung, sang putri berusaha
menggagalkan usaha Bandung Bondowoso. Ia membangunkan dayang-dayang
istana dan perempuan-perempuan desa untuk mulai menumbuk padi. Ia
kemudian memerintahkan agar membakar jerami di sisi timur. Maka langit
terlihat seperti telah pagi hari, ayam-ayam jantan berkokok akibat
alunan suara tumbukan padi dan cahaya merah hasil pembakaran jerami.
Dengan peristiwa ini maka usaha Bandung Bondowoso gagal untuk
memperistri Rara Joggrang.
Alunan suara alu dan lesung juga membangunkan ayam-ayam yang sedang
tertidur hingga berkokok menandakan waktu telah pagi hari dan dijadikan
patokan masyarakat untuk beraktifitas. Beberapa foto jaman kolonial
menunjukkan bagaimana masyarakat desa, terutama perempuan sedang
melakukan aktifitas menumbuk padi. Kegiatan ini dilakukan baik secara
individu maupun berkelompok dan kebanyakan masyarakat melakukannya
secara berkelompok diikuti oleh berbagai percakapan-percakapan
sehari-hari.
Sekarang kita hanya bisa melihat aktifitas masyarakat menumbuk padi di
sebagian kecil desa dengan wajah-wajah yang muram, dan juga masih bisa
kita lihat di desa-desa wisata bukan sebagai aktifitas sosial masyarakat
tetapi sebagai objek tontonan.
Di Jawa Barat, gejog lesung biasanya dilakukan saat acara seren taun,
yaitu upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap
tahun. Istilah Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda seren
yang artinya serah, seserahan, atau menyerahkan, dan taun yang berarti
tahun. Jadi Seren Tahun bermakna serah terima tahun yang lalu ke tahun
yang akan datang sebagai penggantinya. Dalam konteks kehidupan tradisi
masyarakat peladang Sunda, seren taun merupakan wahana untuk bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang dilaksanakan
pada tahun ini, seraya berharap hasil pertanian mereka akan meningkat
pada tahun yang akan datang.
Lebih spesifik lagi, upacara seren taun merupakan acara penyerahan hasil
bumi berupa padi yang dihasilkan dalam kurun waktu satu tahun untuk
disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda disebut leuit. Ada dua
leuit; yaitu lumbung utama yang bisa disebut leuit sijimat, leuit ratna
inten, atau leuit indung (lumbung utama); serta leuit pangiring atau
leuit leutik (lumbung kecil). Leuit indung digunakan sebagai sebagai
tempat menyimpan padi ibu yang ditutupi kain putih dan pare bapak yang
ditutupi kain hitam. Padi di kedua leuit itu untuk dijadikan bibit atau
benih pada musim tanam yang akan datang. Leuit pangiring menjadi tempat
menyimpan padi yang tidak tertampung di leuit indung.
Menurut catatan sejarah dan tradisi lokal, perayaan Seren Taun sudah
turun-temurun dilakukan sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti
kerajaan Pajajaran. Upacara ini berawal dari pemuliaan terhadap Nyi
Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dalam kepercayaan Sunda kuno. Sistem
kepercayaan masyarakat Sunda kuno dipengaruhi warisan kebudayaan
masyarakat asli Nusantara, yaitu animisme-dinamisme pemujaan arwah
karuhun (nenek moyang) dan kekuatan alam, serta dipengaruhi ajaran
Hindu. Masyarakat agraris Sunda kuno memuliakan kekuatan alam yang
memberikan kesuburan tanaman dan ternak, kekuatan alam ini diwujudkan
sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan. Pasangannya
adalah Kuwera, dewa kemakmuran. Keduanya diwujudkan dalam Pare Abah
(Padi Ayah) dan Pare Ambu (Padi Ibu), melambangkan persatuan laki-laki
dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan kebahagiaan keluarga.
Upacara-upacara di Kerajaan Pajajaran ada yang bersifat tahunan dan
delapan tahunan. Upacara yang bersifat tahunan disebut Seren Taun Guru
Bumi yang dilaksanakan di Pakuan Pajajaran dan di tiap wilayah. Upacara
besar yang bersifat delapan tahunan sekali atau sewindu disebut upacara
Seren Taun Tutug Galur atau lazim disebut upacara Kuwera Bakti yang
dilaksanakan khusus di Pakuan.
Kegiatan Seren Taun sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti
ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di
Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti
benar pada 1970-an. Setelah kegiatan ini berhenti selama 36 tahun, Seren
Taun dihidupkan kembali sejak tahun 2006 di Desa Adat Sindang Barang,
Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Upacara ini disebut
upacara Seren Taun Guru Bumi sebagai upaya membangkitkan jati diri
budaya masyarakat Sunda.
Di Cigugur, Kuningan, upacara seren taun yang diselenggarakan tiap
tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda,
sebagaimana biasa, dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal,
kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Sebagaimana
layaknya sesembahan musim panen, ornamen gabah serta hasil bumi
mendominasi rangkaian acara. Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda
Wiwitan tetap menjalankan upacara ini, seperti masyarakat Kanekes,
Kasepuhan Banten Kidul, dan Cigugur. Kini setelah kebanyakan masyarakat
Sunda memeluk agama Islam, di beberapa desa adat Sunda seperti Sindang
Barang, ritual Seren Taun tetap digelar dengan doa-doa Islam. Upacara
seren taun bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntutan tentang
bagaimana manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
terlebih di kala menghadapi panen. Upacara ini juga dimaksudkan agar
Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.
Rangkaian ritual upacara Seren Taun berbeda-beda dan beraneka ragam dari
satu desa ke desa lainnya, akan tetapi intinya adalah prosesi
penyerahan padi hasil panen dari masyarakat kepada ketua adat. Padi ini
kemudian akan dimasukkan ke dalam leuit (lumbung) utama dan
lumbung-lumbung mping. Pemimpin adat kemudian memberikan indung pare
(induk padi/bibit padi) yang sudah diberkati dan dianggap bertuah kepada
para pemimpin desa untuk ditanan pada musim tanam berikutnya. (rk)