minggu 01 juni 2014
Kesenian Tari Sintren dari Cirebon, Jawa Barat
sintren |
Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam pertunjukan ini.
Sintren adalah kesenian tari tradisional masyarakat Jawa, khususnya di
Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Cirebon. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan. Kesenian Sintren dikenal juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Sejarah tari sintren
Kesenian Sintren berasal
dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso hasil perkawinannya
dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih
seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak
mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan
Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan di antara
keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Pertemuan
tersebut diatur oleh Dewi Rantamsari yang memasukkan roh bidadari ke
tubuh Sulasih, pada saat itu pula R. Sulandono yang sedang bertapa
dipanggil oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan
di antara Sulasih dan R. Sulandono. Sejak saat itulah setiap diadakan
pertunjukan sintren sang penari pasti
dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut
dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci (perawan).
sintren jg mempunyai keunikan trsendiri yaitu trlihat dri panggung
alat-alat musiknya yg trbuat dri tembikar atau gembyung dan kipas dri
bambu yg ketika ditabuh dgn cara trtentu menimbulkan suara yg khas.
Bentuk pertunjukan
sintren |
Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya, kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
Dalam permainan kesenian rakyat pun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam permainan Sintren, si pawang (dalang) sering mengundang Roh Dewi Lanjar untuk masuk ke dalam permainan Sintren. Bila, roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari Sintren akan terlihat lebih cantik dan membawakan tarian lebih lincah dan mempesona.
Kesenian
Sintren terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan
beberapa gamelan seperti buyung,sebuah alat musik pukul yang menyerupai
gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti ,
kendang, gong, dan kecrek. Sebelum dimulai, para juru kawih memulai
dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya
begini:
"Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul".
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,
"Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana"
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.
Kemudian
sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga
secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut
dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca mantra dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
"Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru"
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam. Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang. Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam
dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah letak inti dari seni
sintren, tidak tahu apakah itu hanya adegan semata atau memang
benar-benar mengandung unsur magis.
Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar